Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) meminta Presiden Jokowi untuk tidak lagi memungut “pasal karet” (haatzai artikelen) – khususnya penghinaan kepala negara atau presiden – yang digunakan menghukum orang yang menyampaikan pendapat dan berekspresi di muka umum yang bersumber dari comberan sejarah kolonial Hindia Belanda. Tidak perlu juga Presiden Jokowi mengikuti jejak buruk hakim Sarpin Rizaldi yang menyeret dua anggota Komisi Yudisial (KY) sebagai tersangka atas tuduhan “pencemaran nama baik”, karena sumbernya sama saja, yakni comberan kolonial.
Ada beberapa alasan yang memperkuatnya. Pertama, masyarakat Indonesia tidak lagi berada dalam kontrol pemerintahan kolonial yang bertujuan mencegah perlawanan nasional atas penjajahan. Kedua, sejak 1998, sudah berakhir regim otoriter Soeharto yang mengantarkan masyarakat kita menjadi masyarakat yang lebih demokratis. Ketiga, negara Republik Indonesia (RI) sudah menjadi peserta dalam perjanjian atau hukum hak-hak manusia internasional (international bill of human rights).
Terutama dengan menjadi peserta dalam perjanjian hak-hak manusia internasional itu, maka semua aparat dan pejabat negara atau publik dibebankan kewajiban untuk menghormati hak-hak sipil dan politik, khususnya hak atas kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat. Ekspresi orang yang mengeritik dan mengejek atau membakar gambar dalam suatu nada protes harus dilihat dalam koridor ketiga kebebasan itu.
Tidak perlu presiden atau hakim merasa tersinggung atau terhina. Tidak boleh pula kritik atau kebebasan berbicara diplintir menjadi tindak pidana dengan menerjunkan aparat kepolisian untuk menangkap dan menahan orang yang mengekspresikan kebebasannya. Presiden Jokowi tidak perlu menjadi Soeharto atau setengah Soeharto. Cukup Soeharto saja yang tercatat dalam sejarah kelam hak-hak manusia di Indonesia. Bahkan, Presiden Jokowi tidak patut pula mengulangi sejarah Presiden Megawati yang mengadili sejumlah aktivis mahasiswa yang protes pada 2001.
Banyak kepala negara atau pejabat di seluruh dunia menjadi sasaran kritik, ejeken atau pernyataan yang pedas lainnya, apa pun hasil dari kebijakan dan program mereka. Namun, semua itu menjadi pengingat bahwa masih ada yang harus diperbaiki dalam pemerintahannya. Sebaliknya mencegahnya untuk tidak menggelar praktik yang sewenang-wenang terhadap hak-hak manusia.
PBHI menyarankan Presiden Jokowi untuk senantiasa mematuhi hukum hak-hak manusia bukan saja karena sudah menjadi peserta dalam hukum hak-hak manusia internasional, namun juga sudah dikandung dalam UUD 1945 hasil perubahan dan UU No. 39/1999 tentang HAM. Mematuhi hukum HAM berarti menghormati hak setiap orang yang mengekspresikan kebebasannya. Perilaku presiden seperti ini penting untuk menjadi contoh bagi para pejabat lainnya supaya tidak mengulangi langkah hakim Sarpin
Hormat kami
Seketaris Badan Pengurus Nasional
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
Suryadi Radjab